*) sebuah monolog

Category:


Tidak ada jutaan kata yang membuncah dari sebuah harap ketika hati terbelenggu sesuatu 
Tidak ada suatu tanya yang akan membersitkan sebuah rasa ketika kita telah menyembunyikannya

              Apa Bisa ?

Diri jangan biarkan jadi batu
 Teriak bisu
   Berontak kaku
     Dalam ke tak berdayaan kelu
        Diam memandang kepedihan
          Rentangan masa sepanjang tanya
             Akan tetap membeku kah kegelisahan ?

Apa bisa air mata tampak dalam gerimis ?
      Segala rasa di tekan sunyi
      Segala pikir di pendam diam
Tersaruk-saruk membentang kepedihan

Bagaimana menjunjung ketulusan
Jika suara-suara terdengar tak di sahut
rindu-rindu bergetar tak di larut
siksa-siksa gusar tak di renggut
tak ada yang bisa di perbuat
walau doa-doa tumpah di pinggir sajadah

Kembali mengukir kenangan di kepala, membuntuti hari
             Kering dan berpura-pura sepi..
Tak ada yang mngetuk pintu dengan salam
Aku melupakan perbincangan dan benar-benar koma dalam bahasa mu,
            seperti semedi-semedi yang ku jalani
            seperti warna kulitku yang mengucur ke sungai

Tiba-tiba anak beranak menanam sajak di sawah keruh,segalanya subur
Musim panen menghibur daun padi sambil berpura-pura menangis
Sungai-sungai kliwon, air nya yang kehitaman, mengokang doa-doa fana, mengurung mantera di runcing slogan yang mencerca
Tiba-tiba aku di kendalikan oleh Cinta ;

Aku pernah mengarung di hatinya yang seperti kolam biru
Kemudian aku pergi ke ngarai yang bercabangkan dua anak sungai

Suara angsa putih manalagi yang menemaniku di telaga
Setelah tulang-tulang keras, kering, beku dan menghijau seperti pohon-pohon bambu yang gundah
Kukatakan rindu teramat terjal, menyiksa diri dengan kesunyian.
Haruskah kutuliskan air mata mu atau kuhisap saja tubuh mu dalam hujan ?!

Aku kira muara tak akan pernah jadi samudera
Kalau tak kau biarkan sungai mengalir ke lubuk hati 

Beranda tak akan membuat senja menjadi tentram
Kalu di langit panah-panahmu berseliweran dengan peluru, menyilang bintang yang sedang bersalaman.

Manakala nanti jatuh hujan januari
Dan gigil makin berdenting di jemari
Maka kita harus jumpa
Untuk saling mengirim berikat-ikat bunga dan mantel kulit rusa
Agar ada suatu yang baru pada benderang malam di tahun yang baru
Menggeliat sendirian kau terus laju
Aku tetap saja menyinari hari-hari kelabu
Di sela lapuknya kursi kayu

Tapi aku kira perjumpaan tak akan melahirkan apa-apa
Seperti pohon dan tiang listrik
Di jegal beton menjulang tinggi
Tak akan melahirkan apa-apa
Seperti rintih, juga hari ini, ketika bulan menyisir gelap pasir dan kita tak letih-letihnya menafsir.
Seperti ada rintih dan kita tak sanggup lagi mengenangkannya

Tiba-tiba gerimis menjelma jarum-jarum yang menusuk kulit. Mengalirkan darah kental, menyindir penyair pandir yang merantau di pulau-pulau asing.

Segalanya cemburu, segalanya menjadi ungu
Tiba-tiba aku diburu sehimpun ragu
Tak usahlah aku terus memaksa untuk bisa mengakrabimu. 

Laron terbang mengejar cahaya
Begitu mendekati tujuan matanya perih sayapnya patah
Dibawah tiang lampu ia jatuh kepayahan, tersungkur bertebaran
Meregang nyawa penuh penyesalan

Tiba-tiba suara-suara menjadi panah yang menembus kegelisahan, segalanya runtuh.
Pohon-pohon palem, kawat telepon, rumput-rumput muda, lelaki setengah baya menjemput kata-kata di pelabuhan sunyi.
Dimana hati berlayar tanpa kendali.
Tiba-tiba aku ingin berhenti di sini.
Ah…tak usahlah aku terus memaksa untuk bisa lebih mengakrabimu.
Cukup dari jauh saja aku bisa lebih mengakrabimu

Ps
Ini adalah salah satu tulisan yang pernah saya buat di sekitar tahun 2003 di bulan september tepatnya *klo tidak salah.. dan file nya masih dapat terselamatkan. Tentang resah-gelisah tak nyaman menjalani proses aktualisasi di tengah sergapan rasa tak percaya diri.. keliatan banget kan klo gw sebenernya kurang PD waktu itu.. haaaahh.. :) hussshh.. dilarang untuk tertawa klo sendirian..

Comments (0)